“Polusi udara menyebabkan kerugian perekonomian yang meningkatkan biaya kesehatan, menurunkan produktivitas masyarakat dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan laporan Bank Dunia, polusi udara di Indonesia mengurangi PDB negara sekitar US 220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahun. Jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh mengatasi masalah polusi udara ini,” tandas Fabby, Selasa (19/11/2024).
Ia mengungkapkan bahwa penerapan standar Euro IV dan lebih tinggi memerlukan investasi yang relatif besar untuk teknologi pengolahan bahan bakar, serta memperbarui infrastruktur kilang minyak. Meskipun demikian, biaya ini akan terbayar dari perbaikan kualitas udara yang berdampak pada penurunan biaya kesehatan dan pertumbuhan ekonomi yang jauh signifikan dibandingkan investasi yang dikeluarkan.
Prof. Budi Haryanto, Ketua RCCC UI menuturkan bahwa di Jakarta, total kasus penyakit akibat polusi udara, seperti ISPA, asma, radang dan infeksi paru-paru, mencapai 175 ribu hingga 599 ribu kasus pada periode 2016-2021. Total biaya pengobatan yang diklaim melalui BPJS pada periode yang sama mencapai Rp191 juta hingga Rp1,8 milar pada periode yang sama.
“Kualitas udara yang lebih bersih akan mengurangi risiko rawat inap dan biaya pengobatan terkait penyakit akibat polusi. Dengan mempromosikan kualitas BBM yang lebih tinggi, maka dapat melindungi kesehatan masyarakat sekaligus mengurangi beban ekonomi yang disebabkan oleh biaya pengobatan jangka panjang,” kata Prof Budi.